Wednesday, March 7, 2018

PENGARUH JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DAN WAKTU PENYIRAMAN HYPONEX MERAH TERHADAP PERBANYAKAN FMA LOKAL SULAWESI TENGGARA

I.   PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan fungi obligat dari endomikoriza (Peterson, 2004) dan bersimbiosis dengan 97% akar tanaman tingkat tinggi dan 80% famili tanaman darat (Smith and Read, 2008). Struktur FMA yang umum ditemukan diperakaran tanaman adalah hifa eksternal, hifa internal, coil, vesikula dan arbuskula (Smith and Read, 2008). FMA memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan produtivitas tanaman (Brundrett et al. 1996), pertumbuhan dan biomassa tanaman (Husna et al. 2015) melalui perbaikan  nutrisi unsur hara terutama Fosfat (P) serta berperan penting dalam menunjang keberhasilan  rehabilitasi lahan yang terdegradasi (Suharno et al. 2014). Husna et al. (2016) melaporkan bahwa FMA lokal dapat dikembangkan sebagai pupuk hayati yang ramah lingkungan melalui perbanyakan FMA.
Perbanyakan FMA dapat dilakukan dengan menumbuhkan FMA dengan tanaman inang pada media pot (Brundrett et al. 1996). Perbanyakan FMA sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara, media tanam dan tanaman inang (Smith and Read, 2008 dan Tuheteru, 2003), kondisi hara media yang digunakan menjadi penyebab kegagalan kolonisasi mikoriza (Smith and Read, 1997). Ketersediaan unsur hara yang tinggi dapat berpengaruh buruk pada produksi FMA (Brundrett et al. 1996). Begitupun sebaliknya pada teori humus dan mineral (Setiadi, 1989) melaporkan perkembangan FMA efektif pada kondisi kesuburan tanah yang rendah.
Kontrol kadar Nitrogen (N) dan Fosfat (P) sangat penting (Brundrett et al. 1996), sebab kadar N yang tinggi dapat menurunkan suplai karbohidrat ke mikoriza (Tuheteru, 2003), sedangkan kolonisasi FMA mencapai maksimum, jika tanaman inang di tumbuhkan pada tanah yang mengalami defisiensi hara P (Feldeman et al. 2009). Salah satu sumber hara yang memiliki kandungan P yang rendah dan N Yang tinggi yaitu dengan pemberian hyponex merah. Hyponex merah memiliki kandungan hara yaitu 25% N, 5% P, dan 20% K yang dapat memproduksi spora lebih banyak dan jika dibandingkan dengan penambahan pupuk (Urea-TSP-KCL) menunjukan produksi spora yang lebih sedikit (Rini, 2010). Studi lain mengungkapkan bahwa aplikasi hyponex merah sebagai penyuplai hara memberikan hasil yang lebih baik terlihat dari pertumbuhan tanaman yang sehat dan lebih hijau (Shintavira, 2012). Berdasarkan penelitian Suryani (1989), unsur hara N dan P akan mempengaruhi kolonisasi akar oleh FMA, untuk memperoleh kepadatan spora yang tinggi dapat diperoleh dari pemberian larutan hyponex merah dengan kandungan N yang tinggi tetapi P rendah. Delvian (2008) melaporkan bahwa untuk penyiraman hyponex pada setiap pot disiram dengan konsentrasi 2 g/l air sebanyak 20 ml/pot setiap minggu sekali memberikan hasil yang baik jika di bandingkan dari pemberian pupuk NPK dan tanpa pemupukan.
Perbanyakan fungi mikoriza arbuskula saat ini sudah dilakukan, namun perbanyakan fungi mikoriza arbuskula khususnya yang berasal dari rizosfer tanaman kayu kuku belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penting dilakukan penelitian mengenai perbanyakan fungi mikoriza asal rizosfer tanaman kayu kuku dengan waktu pemberian hyponex merah.


1.2.       Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.             Bagaimana interaksi antara jenis FMA dan waktu pemberian hyponex merah terhadap perbanyakan FMA lokal asal rizosfer kayu kuku [Pericopsis mooniana (Thw.) Thw]. ?
2.             Interaksi perlakuan manakah yang memberikan pengaruh terbaik terhadap perbanyakan FMA  lokal asal rizosfer kayu kuku [Pericopsis mooniana (Thw.) Thw].  ?
1.3.       Tujuan  dan Kegunaan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis FMA dan waktu penyiraman hyponex merah terhadap perbanyakan FMA lokal rizosfer kayu kuku [Pericopsis mooniana (Thw.) Thw].
Kegunaan dari penelitian ini adalah medapatkan informasi tentang pengaruh jenis FMA terbaik dengan lama penyiraman hiponex merah terhadap perbanyakan FMA lokal rizosfer kayu kuku [Pericopsis mooniana (Thw.) Thw].
1.4.       Kerangka Pikir Penelitian
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) sudah terbukti berpotensi sebagai pupuk hayati yang ramah lingkungan dan dapat menunjang rehabilitasi lahan yang terdegradasi (Husna et al. 2015). Oleh karena itu FMA lokal perlu dikembangkan melaui perbanyakan FMA. Perbanyakan FMA lokal juga di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor tanaman inang, jenis FMA, dan unsur hara. Kondisi hara dapat menjadi penyebab kegagalan infeksi FMA, untuk itu pengunaan pupuk berupa hyponex merah sangat penting karena mengandung unsur hara makro dan mikro yang dapat membantu perbanyakan spora FMA lokal Sulawesi Tenggara asal rizosfer kayu kuku [Pericopsis mooniana (Thw.) Thw.]
1.1.       Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah :
1.      Ada pengaruh interaksi antara jenis FMA dan waktu penyiraman hyponex merah terhadap perbanyakan FMA lokal Sulawesi Tenggara asal rizosfer kayu kuku [Pericopsis mooniana (Thw.) Thw].
2.    Minimal terdapat satu pasang interaksi perlakuan yang memberikan pengaruh terbaik terhadap perbanyakan FMA lokal Sulawesi Tenggara asal rizosfer kayu kuku [Pericopsis mooniana (Thw.) Thw.].















II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.    Deskripsi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
2.1.1. Pengertian Mikoriza
 Mikoriza adalah sebuah simbiosis mutualisme antara fungi atau cendawan dengan perakaran tanaman tingkat tinggi (Smith dan Read, 2008). Kata mikoriza berasal dari bahasa yunani yaitu myces (cendawan) dan rhiza (perakaran) tumbuhan tingkat tinggi (Setiadi, 1989). Mikoriza di bedakan kedalam dua kelompok besar yaitu ektomikoriza dan endomikoriza (Smith dan Read, 2008).
2.1.2.   Klasifikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
Fungi mikoriza arbuskula adalah fungi obligat dari filum Glomeromikota (Schubler and Walker, 2010) dan bersimbiosis dengan perakaran tanaman tingkat tinggi (Smit dan Read, 2008). Berdasarka kajian biomolekuler dapat diketahui bahwa FMA memiliki Filum Glomeromycota memiliki empat bangsa (ordo) (Glomerales, Diversisporales, Paraglomerales, dan Archaeosporales), 11 suku (famili), 18 marga dan sekitar 300 jenis yang berhasil dikenali (Schüßler dan Walker 2010).
Filum   : Glomeromycota
Ordo   :  Archaesporales, Diversisporales, Glomales, Paraglomales
Genus : Acaulospora, Ambispora, Archaespora, Diversispora, Entrophospora, Geosiphon, Gigaspora, Glomus, Intraspora, Kuklospora, Otospora, Pacispora, Paraglomus, Racocetra dan Scutellospora (Hartoyo, 2012).
Berdasarkan penelitian Husna (2014) telah melaporkan sebanyak 15 jenis FMA di jumpai berasosiasi dengan kayu kuku di Sulawesi Tenggara yang di dominasi oleh jenis FMA dari suku Glomeraceae, dan di temukan 4 jenis FMA yang baru ditemukan di indonesia diantarannya Glomus canadense yang berwarna kuning kecoklatan, bentuk spora agak bulat lonjong, dengan lapisan dinding 1 lapis. Glomus  halonatum yang berwarna coklat muda, bentuk agak bulat, dengan lapisan dinding 2 lapis. Racocetra  gregaria berwara coklat kehitaman, bentuk bulat, dengan lapisan dinding 1 lapis. Ambispora appendicula yang berwarna bening, bentuk spora bulat, degan lapisan dinding 2 lapis.
2.1.3. Struktur umum FMA
Fungi mikoriza arbuskula memiliki beberapa struktur pada akar tanaman, seperti hifa internal dan eksternal, hifa koil, vesikula dan arbuskula (Husna et al, 2015).  FMA memiliki hifa yang menjalar luas ke dalam tanah, melampaui jauh yang tidak dapat dicapai oleh rambut akar (Rivana, 2016). Hifa fungi mikoriza arbuskul merupakan tempat perpindahan karbon dari tanaman dan hara dari dalam tanah (Nusantara, 2010).
2.1.3.1. Hifa internal
Hifa intraradikal (HI) adalah  hifa yang tumbuh menjalar di antara sel epidermis dan akhirnya mengkolonisasi ruang intraseluler kortek akar, dan kemudian hifa internal ini membentuk secara spesifik berupa arbuskula, vesikel, sel auksilari, ataupun spora intraradikal  (Nusantara,  2011). Hifa internal juga berfungsi dalam mentransfer air dan hara dari luar ke korteks  tanaman inang (Souza, 2015).  Hifa internal memiliki struktur yang tipis dan sering kali berwarna lebih pucat, sehingga agak sulit untuk dilihat (Nusantara,  2012).


2.1.3.2.  Hifa eksternal
Hifa eksternal yang terbentuk dari hifa intraradikal yang menjulur keluar dari akar dan membentuk percabangan yang ekstensif di rhizosfir tanaman. Semakin banyak hifa ekstraradikal berpotensi meningkatkan pembentukan spora (Nusantara, 2011). Hifa eksternal berkembang di luar akar tanaman dan hifa tersebut membentuk appresoria, kemudian hifa tersebut  menembus dinding sel akar untuk membentuk hifa intraradikal (Smith & Read, 2008). Hifa eksternal juga berperan dalam memperluas bidang serapan akar terhadap air dan unsur hara (Musfal, 2010). Serta berperan dalam produksi spora, agregasi tanah, dan perlindungan tanaman inang dari serangan pathogen (Nusantara, 2011).
2.1.3.3.  Arbuskula
Arbuskula adalah struktur hifa yang bercabang-cabang halus yang mirip haustorium dan di bentuk oleh percabangan dikotomi (Nainggolan, 2014). Arbuskula merupakan senyawa polifosfat dipecah menjadi fosfat organik yang kemudian dilepas ke seluruh sel tanaman inang, masuknya hara ke dalam sel tanaman inang oleh peningkatan sitoplasma, pembentukan organ baru, pembengkakan inti sel, peningkatan respirasi dan aktivitas enzim (Pulungan, 2015). Struktur arbuskula, bercabang-cabang seperti pohon, diyakini merupakan organ pelaksana pertukaran energi (karbohidrat) dari tanaman dan bahan dari FMA (Nusantara, 2011).
2.1.3.4.  Vesikula 
Vesikula adalah struktur FMA yang memiliki bermacam-macam bentuk seperti kotak, bulat telur, dan tidak teratur, dan pada kondisi tertentu dapat berperan sebagai spora atau alat untuk mempertahankan kehidupan cendawan dan memiliki nukleus atau inti yang terpenting dari arbuskula (Smith and Read, 2008). Vesikula juga mengandung lemak sehingga merupakan organ penyimpanan cadangan makanan (Suharno, 2014). Vesikula memiliki struktur dinding tipis dan tidak bertahan lama di dalam akar (Nusantara, 2012). Strukrur tubuh vesikula yang bebentuk bulat telur (Nainggolan, 2014).
2.1.3.5.  Spora
Spora adalah perkembangbiakan aseksual fungi, terbentuk pada ujung hifa di dalam tanah atau di dalam akar (Brundrett et al. 1996). Spora merupakan struktur FMA yang umumnya dipakai untuk identifikasi jenis FMA dan digunakan sebagai sumber inokulum terbaik. Spora dapat ditemukan di dalam tanah baik secara individu maupun berkelompok (Smith and Read, 2008). Hasil penelitian penunjukan bahwah sporulasi spora berkorelasi positif dengan peningkatan pertumbuhan tanaman mikoriza dan peningkatan pertumbuhan per unit akar terinfeksi (Giovannetti dan Mosse, 1989).
2.2.    Manfaat dan Peran FMA
Aplikasi FMA mampu meningkatkan pertumbuhan dan perbaikan status hara tanaman yaitu mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter, jumlah daun dan jumlah bintil akar suatu tanaman (Husna et al. 2015). Fungi mikoriza arbuskula juga berperan dalam membantu penyerapan unsur hara terutama fosfor (P) (Smith and Read, 2008) dari pemberian mikoriza dapat meningkatkan kemampuan dan efisiensi tanaman dalam menyerap hara P untuk menunjang pertumbuhan dan hasil tanaman (Agustin, 2010). Selain meningkatkan penyerapan unsur hara dalam tanah, FMA juga bermanfaat menghasilkan hormon dan zat pengatur tumbuh auksin dan giberelin. Auksin berfungsi mencegah atau menghambat penuaan akar, sedangkan giberelin berfungsi memperkuat batang tanaman (Mansur, 2003). Penggunaan FMA tidak membutuhkan biaya yang besar karena teknologi produksinya murah dan dapat diproduksi dengan mudah di lapangan, pemberian cukup sekali seumur hidup tanaman, tidak menimbulkan polusi dan tidak merusak struktur tanah (Handani, 2013). Fungi mikoriza arbuskula dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, misalnya (1) meningkatkan jumlah dan mutu hasil tanaman; (2) mengurangi kebutuhan akan pupuk dan pestisida; (3) mengurangi erosi; (4) mereduksi emisi CO ; dan (5) menyuburkan tanah (Nusantara et al. 2012).
2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perbanyakan Fungi Mikoriza   Arbuskula (FMA).

2.3.1. Tanaman Inang
Perbanyakan mikoriza dipengaruhi oleh ketergantungan jenis tanaman inang dan kecocokan jenis FMA yang diinokulasikan dengan tanaman inang (Husna et al. 2015). Wulandari et al. (2014) juga melaporkan bahwa umur dan jenis  tanaman inang juga menentukan kepadatan spora yang dihasilkan. Umur tanaman inang juga mempengaruhi keberadaan FMA di tanah serta kolonisasinya pada akar tanaman (Arman et al. 2015). Kriteria dalam penentuan tanaman inang harus berpotensi untuk membentuk mikoriza, misalnya kapasistas untuk dikolonisasi oleh FMA, mempunyai pertumbuhan sporulasi FMA tinggi, memiliki sistim perakaran yang ekstensif dan solid tapi kadar ligninnya rendah (Herryawan, 2012). Tanaman inang yang dapat digunakan dalam produksi inokulum FMA salah satunya ialah Pueraria phaseoloides. Tanaman tersebut sering digunakan karena memiliki beberapa kelebihan, misalnya berumur pendek, memiliki system perakaran yang luas, dapat terkolonisasi sampai batas yang tinggi oleh berbagai jenis FMA, dan toleran terhadap kadar fosfor (P) rendah (Nusantara, 2011).
2.3.2. Media Tanam
Faktor lain yang mempengaruhi perbanyakan mikoriza adalah media tumbuh. (Karti et al. 2006) melaporkan bahwa media tumbuh pasir, tanah, dan zeolit adalah media yang baik  untuk perbanyakan mikoriza namun uji lanjut menunjukan bahwa media tumbuh zeolit memberikan jumlah spora tertinggi di bandingkan dengan media pasir dan tanah. Hasil pelitian lain melaporkan media pasir, zeolit, dan pasir + zeolit dengan perbandigan (1 : 1 ) menunjukan masing-masing media tanam mampu meningkatkan jumlah spora Glomus yang diinokulasikan (Dapersal, 2014). Media tumbuh zeolit bersifat stabil, tidak mudah berubah atau rusak karena siraman air, dan memiliki kapasitas tukar kation yang tinggi, dimana media tanam yang baik digunakan ialah media tanam yang memiliki tekstur kasar, berpasir, dengan kapasitas tukar kation yang tinggi yang mampu mengurangi tersedianya P untuk menghasilkan perbanyakan spora FMA (Rini dan Rozalinda, 2010).
2.3.3.   Lingkungan
Beberapa faktor dapat mempengaruhi produksi FMA diantaranya lingkungan sepeti pH tanah, kandungan air, kandungan Posfor (Dewi, 2014) suhu dan kelembaban dimana suhu tanah yang tinggi umumnya dapat meningkatkan kolonisasi dan sporulasi FMA yang lebih tinggi (Tuheteru, 2003).
2.3.4.   Cahaya
Cahaya dapat mempengaruh perbanyakan propagul FMA, karena dapat berpengaruh terhadap proses fotosintesis tanaman dan translokasi karbon ke akar, serta berpengaruh tidak langsung terhadap kolonisasi dan produksi spora FMA (Nusantara, 2011).
2.3.5.   Aplikasi Pemupukan
Selain pemberian FMA maka di perlukan sumber nutrisi lain yang dibutuhakan suatu tanaman (Delvian, 2008). Kebutuhan unsur hara, khususnya P, berpengaruh langsung terhadap FMA melalui respon tanaman terhadap ketersediaan hara. Kadar, bentuk, dan kelarutan sumber hara P merupakan faktor penting bagi pembentukan dan perkembangan FMA (Nusantara, 2011). FMA dapat berpengaruh negatif atau positif dengan unsur hara P, dimana pemberian unsur hara P dalam jumlah yang banyak dapat berpengaruh buruk terhadap pembentukan dan perkembangan FMA (Smith & Read, 2008). Dimana telah dilaporkan bahwah aplikasi pemupukan dalam batas tertentu dapat meningkatkan infeksi dalam perbanyakan spora FMA (Tuheteru, 2003).
2.4.    Potensi Hyponex Merah Terhadap Sporulasi FMA
Pupuk hyponex merah merupakan pupupk majemuk dengan kandungan hara makro dan mokro yang berbentuk kristal dan biasa digunkan untuk pertumbuhan vegetatif (Shiniavira, 2012). Hyponex merah mengandung (25% N, 5% P, dan 2 0% K) dengan konsentrasi P rendah tetapi N tinggi yang akan membanti dalam meningkatkan produksi spora (Rini dan Rozalinda, 2010). Kontrol kadar N dan P sangat penting (Brundrett et al. 1996), sebab jika unsur hara N tinggi dalam bentuk ammonium akan menghambat perkembangan FMA (Delvian, 2008) dan juga dapat menurunkan suplai karbohidrat ke mikoriza (Tuheteru, 2003). Sedangkan rendahnya kandungan P di dalam tanah menyebabkan tumbuhan mampu membentuk simbiosis dengan FMA (Zulfredi, 2015). Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan pupuk hyponex merah mampu meningkatkan jumlah spora jika di bandingkan dengan pemberian pupuk Urea, TSP dan KCl (Delvian, 2008). Berdasarkan hasil pengamatan Okiobe (2015) perlakuan pemberian larutan hyponex merah mampu menghasilkan total biomassa P.thaseoloides umur 12 MST sebesar  1,1 g pada inokulum A. tuberculata.
Shiniavira, (2012) melaporkan bahwa aplikasi hyponex sebagai salah satu substitusi hara makro-mikro memberikan kasil yang lebih baik jika di bandingkan pemberian medium Growmore yang terlihat dari pertumbuhan tanaman yang lebih sehat dan lebih hijau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis FMA dan sumber hara anorganik berinteraksi nyata mempengaruhi produksi spora FMA, kolonisasi akar dan bobot kering tanaman kudzu (Nusantara, 2011). Hyponex merah juga dilaporkan cepat menyediakan P dan cocok untuk pembentukan spora A. tuberculata yang perkembangan hifa ekstraradikalnya ekstensif dan cepat (Nusantara et al. 2010).


SKRIPSI PERAN WANITA TANI DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN KELUARGA

  I. PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Gerakan wanita atau lebih dikenal sebagai gerakan gender sebagai gerakan politik sebenarnya...