I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pembangunan kehutanan yang
saat ini dikembangkan lebih mengarah kepada hutan tanaman dengan sistem
monokultur. Salah satu dampak negatif dari sistem monokultur adalah kerentanan
terhadap hama dan penyakit, hal ini terjadi karena sumber pakan tersedia dengan
melimpah dan dalam wilayah yang luas
Sejalan dengan tingginya
kerusakan hutan alam Indonesia, maka pembangunan kehutanan pada saat ini lebih
diarahkan pada pembangunan hutan tanaman monokultur atau campuran terbatas
untuk memenuhi kebutuhan kayu yang terus meningkat. Dampak negative lainya dari hutan tanaman dengan sistem monokultur atau
campuran terbatas adalah adanya kerentanan tanaman terhadap serangan hama dan
penyakit. Dibandingkan dengan hutan campuran maka hutan tanaman monokultur
mimiliki keanekaragaman jenis yang lebih sedikit sehingga dapat menurunkan
keseimbangan alam pada ekosistem tersebut dan menyebabkan tersedianya sumber
makanan yang sangat banyak bagi organisme pengganggu tanaman (hama/pathogen).
Pada kondisi ini pohon lebih rentan terhadap gangguan organisme seperti
serangga hama dan pathogen/penyebab penyakit.
Telah banyak bukti adanya serangan hama yang membuktikan kerentanan hutan tanaman monokultur. Serangan hama tersebut dapat terjadi mulai pada tingkat persemaian sampai di tingkat lapangan. Beberapa jenis hama yang banyak menyerang tanaman HTI antara lain: hama kutu lilin pada tanaman pinus muda, hama ulat (Hyblaea puera) dan inger-inger (Neotermes tectonae) pada tanaman jati, hama Hypsiphyla robusta yang menyerang pucuk tanaman mahoni, penyakit busuk akar (root-rot diseases) akar dan busuk hati (heart-rot diseases) pada tanaman akasia, hama penggerek batang (Xystrocera festiva) pada tanaman sengon dan lain-lain.
Telah banyak bukti adanya serangan hama yang membuktikan kerentanan hutan tanaman monokultur. Serangan hama tersebut dapat terjadi mulai pada tingkat persemaian sampai di tingkat lapangan. Beberapa jenis hama yang banyak menyerang tanaman HTI antara lain: hama kutu lilin pada tanaman pinus muda, hama ulat (Hyblaea puera) dan inger-inger (Neotermes tectonae) pada tanaman jati, hama Hypsiphyla robusta yang menyerang pucuk tanaman mahoni, penyakit busuk akar (root-rot diseases) akar dan busuk hati (heart-rot diseases) pada tanaman akasia, hama penggerek batang (Xystrocera festiva) pada tanaman sengon dan lain-lain.
Serangan hama jika tidak dikelola dengan tepat maka akan
mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem. Selain dari itu, serangan hama berdampak pada prokduktifitas dan kualitas standing stock yang ada. Diantaranya
adalah menurunkan rata-rata pertumbuhan, kualitas kayu, menurunkan daya
kecambah biji dan pada dampak yang besar akan mempengaruhi pada kenampakan
estetika hutan. Oleh sebab itu, makalah ini dibuat untuk mengetahui beberapa
jenis hama yang menyerang taanaman kehutanan.
B. Tujuan
Pengelolaan pengendalian
hama dan penyakit tanaman ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui jenis hama yang menyerang tanaman
Rasamala
2.
Mengurangi kerusakan/kerugian yang ditimbulkan akibat serangan hama
3. Menjaga
keseimbangan ekosistem di hutan yang masing-masing unsur lingkungan
saling mendukung bagi pertumbuhan tanaman
II. PEMBAHASAN
Rasamala (Altingia excelsa) tumbuh
di hutan rimba dan tumbuh optimal sampai ketinggian 1.700 mdpl. Tingginya dapat
mencapai 45 meter lebih. Kayunya berwarna kuning keras dan padat. Dari batang
dan dahannya banyak mengeluarkan getah damar. Jenis ini menyebar mulai dari
Himalaya menuju wilayah lembab di Myanmar hingga Semenanjung Malaysia, ke
Sumatera dan Jawa. Di Jawa, jenis ini hanya tumbuh di wilayah barat dengan
ketinggian 500-1.500 m dpl, di hutan bukit dan pegunungan lembab. Di Sumatera,
A. excelsa tersebar di Bukit Barisan. Tumbuh alami terutama pada tapak lembab
dengan curah hujan lebih 100 mm per bulan dan tanah vulkanik. Jenis ini digunakan
untuk penanaman terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ditanam pada jarak
rapat, karena pohon muda cenderung bercabang jika mendapat banyak sinar matahari.
Klasifikasi Ilmiah Rasamala
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Saxifragales
Family : Altingiaceae
Genus : Altingia
Spesies : Altingia excelsa
Kegunaan
Kayunya sangat awet walaupun langsung bersentuhan dengan tanah. Karena bebas cabangnya tinggi, maka kayunya cocok untuk kerangka jembatan, tiang, konstruksi, tiang listrik dan telpon, serta penyangga rel kereta api. Selain itu, kayunya dimanfaatkan untuk konstruksi berat, rangka kendaraan, perahu dan kapal, lantai, rakit, finir, dan plywood. Daun yang masih muda berwarna merah sering untuk sayur atau lalap. Di Jawa, daun yang telah ditumbuk halus digunakan sebagai obat batuk. Getahnya berbau aromatik sebagai pengharum ruangan
Deskripsi Buah dan Benih
Buah berdiameter 1,2-2,5 cm, berwarna coklat, seperti kapsul yang terdiri 4 ruang. Setiap ruang berisi 1-2 benih yang telah dibuahi. Selain benih yang dibuahi, dalam setiap ruang tersebut juga terdapat benih yang tidak dibuahi yang jumlahnya mencapai 35 butir. Benih pipih dan dikelilingi sayap yang berbau aromatik. Setiap kg benih terdiri 177.000 butir atau 75.000 benih/liter. Perkecambahannya epigeal
Deskripsi Botani
Pohon selalu hijau, tinggi dapat mencapai 40-60 m dengan tinggi bebas cabang 20-35 m, diameter hingga 80-150 cm. Kulit kayu halus, abu-abu, dan kayunya merah. Pohon yang masih muda bertajuk rapat dan berbentuk piramid, kemudian berangsur menjadi bulat setelah tua. Letak daun bergiliran, bentuknya lonjong, panjangnya 6 - 12 cm, dan lebarnya 2,5-5,5 cm, dengan tepi daun bergerigi halus. Bunga berkelamin satu. Bunga jantan dan betina terpisah pada pohon yang sama. Malai betina terdiri dari 14-18 bunga, berkumpul menyerupai kepala
Beberapa
Jenis Hama pada Rasamala
1. Coptotermes curvignathus (Rayap)
Banyak ditemukan di daerah tropika dan subtropika dengan 45 % spesiesnya terdapat di daerah tropis. Bersarang di atas ataupun di bawah tanah pada batang pohon yang mati dan banyak menyerang kayu-kayu konstruksi pada bangunan dengan sifat serangannya yang meluas. Hal ini menjadikan rayap C. curvignathus sebagai rayap yang menimbulkan kerugian ekonomis yang besar.
C. curvignathus memiliki kandungan populasi flagelata yang tinggi dalam saluran pencernaannya. Hal tersebut jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa rayap C. curvignathus merupakan rayap perusak kayu yang paling ganas di Indonesia. Daya rusaknya yang sangat hebat nampaknya didukung oleh daya cerna selulosa yang tinggi sehubungan dengan tingginya populasi flagelatanya dengan rata-rata 4682 ekor flagelata/rayap.
2. Rhopalosiphum maidis (kutu daun)
Tanaman yang menjadi inang utama bagi kutu daun ini sebenarnya adalah jagung. Akan tetapi kutu ini memiliki inang alternative mulai dari tanaman padi sampai pada tanaman hutan dan terbanyak terjadi pada daun, Kutu ini selain merusak daun tanaman inangnya juga sebagai vektor dari berbagai macam virus penyakit (Mau and Kessing, 1992). Populasi kutu ini dapat mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini disebabkan oleh sifat perkembangbiakkannya yang parthenogenesis yang memungkinkan suatu spesies untuk melestarikan jenisnya tanpa harus melakukan perkawinan
3. Valanga nigricornis (Belalang)
Daur hidup Valanga nigricornis termasuk pada kelompok metamorfosis tidak sempurna. Pada kondisi laboratorium (temperatur 28 °C dan kelembapan 80 % RH) daur hidup dapat mencapai 6,5 bulan sampai 8,5 bulan. Fekunditas rata-ratanya mencapai 158 butir. Keadaan yang ramai dan padat akan memperlambat proses kematangan gonad dan akan mengurangi fekunditas
Metamorfosa sederhana (paurometabola) dengan perkembangan melalui tiga stadia yaitu telur, nimfa, dan dewasa (imago). Bentuk nimfa dan dewasa terutama dibedakan pada bentuk dan ukuran sayap serta ukuran tubuhnya.
4. Aegus acuminatus (Penggerek batang)
Organisme ini bersifat destruktif. Hal ini telah dapat dilihat pada fase larva yang telah memiliki kepala dan rahang yang keras. Larva ini sering kali tampak menggulung. Larva ini memiliki habitat di dalam tanah, kayu mati, dan sisa tanaman. Kumbang ini dinamakan stag beetles karena kumbang jantan memiliki capit yang kuat dan keras
5. Xystrocera festiva (Penggerek batang)
Hama ini merupakan jenis hama yang termasuk pengebor batang. Kerusakan awal ditandai dari kulit pohon yang mengalami nekrosis dan menunjukkan adanya lubang yang berbentuk oval sebagai aktivitas pengeboran dari larva hama ini. Gejala selanjutnya adalah cabang dan batang akan mati. Jalan masuk hama pada batang akan tampak berwarna hitam dan kering.
Ciri larva hama ini berwarna kuning kecoklatan dan berukuran 5 cm, biasanya hidup secara berkelompok dan memakan kulit kayu, lapisan cambium, xylem, dan berdiam di bawah kulit kayu. Mendekati fase pupa, larva akan melubangi sebuah saluran sekitar 20 cm. Bahkan saluran yang di buat dapat sampai ke pembuluh xylem
Hama rayap
Cara-cara pengendalian rayap yang dapat dilakukan :
1) Preventif
- secara
tradisional dilakukan dengan menaburkan abu kayu di pangkal batang pada waktu
penanaman
- pemberian
insektisida granuler (G), pada lubang tanam ketika penanaman, khususnya pada
lokasi yang diketahui endemik/rawan rayap
- mengurangi
kerusakan mekanis pada perakaran dalam sistem tumpang sari
- menghilangkan
sarang-sarang pada lokasi
2) Pengendalian :
-
mengoleskan kapur serangga di pangkal batang
-
pemberian insektisida granuler di pangkal batang
-
penaburan abu kayu di sekeliling pangkal batang
-
menghilangkan sarang-sarang pada lokasi
Hama penggerek batang
Siklus Hidup
Duomitus
ceramicus merupakan sejenis ngengat,
telurnya menetas antara bulan Maret – April, aktif pada malam hari. Setelah
kawin ngengat betina bertelur pada malam hari dan diletakkan pada celah kulit
batang. Telur berwarna putih kekuningan atau kuning gelap, bentuk silinder,
panjang 0,75 cm. Telur diletakkan berkelompok pada bekas patahan cabang atau
luka-luka di kulit batang. Stadia telur ± 3 minggu.
Larva menetas pada bulan Mei, hidup dalam kulit pohon, selanjutnya
menggerek kulit batang menuju kambium dan kayu muda, memakan jaringan kayu
muda. Larva pada tingkat yang lebih tua membuat liang gerek yang panjang,
terutama bila pohon jati kurang subur. Pada tempat gerekan terjadi pembentukan kallus (gembol). Larva menggerek batang
dengan diameter 1 – 1,5 cm, panjang 20 – 30 cm dan bersudut 90 °. Kotoran larva dari gerekan kayu dikeluarkan
dari liang gerek. Fase larva sangat lama antara April –
September.
Selanjutnya larva masuk ke stadium pupa, tidak aktif, posisinya mendekati
bagian luar liang gerek. Fase pupa berlangsung antara September – Pebruari.
Seluruh siklus hidupnya, dari stadia telur sampai menjadi ngengat memerlukan
waktu ± 1 tahun.
Pengendalian
Oleng-oleng termasuk serangga hama low
density insect pest (serangga hama yang kepadatannya rendah). Dalam 1 batang tanaman jati umumnya terdapat
1 ekor serangga larva, jarang 2 atau lebih. Meskipun hanya 1 ekor sudah
dapat merusak satu batang jati.
Kerusakan parah terutama pada serangan tanaman jati muda, umur 1 – 3
tahun. Tanaman jati muda mudah patah akibat lubang serangan pada batang jati
muda.
Berkembangnya hama oleng-oleng difasilitasi oleh tingginya kelembaban dan
suhu lingkungan di lantai dasar hutan.
Umumnya serangan oleng-oleng pada batang jati pada ketinggian 1 – 2 m
dari tanah, dengan jumlah titik serangan 1 - 2. Namun demikian pada lokasi
serangan endemik yang parah, titik serangan dapat mencapai 5 titik dengan
ketinggian titik serangan mencapai 4 meter.
Teknik pengendalian hama dengan sifat seperti oleng-oleng diusahakan
supaya insektisida yang dipakai harus dapat mengenai sasarannya. Oleh karena
itu teknik pemakaian insektisida fumigan dapat dipakai karena dengan cepat
mengenai sasarannya.
-
insektisida
fumigan, dosis : 1/8 butir dimasukkan
ke dalam liang gerek serangga hama, kemudian lubang ditutup dengan lilin malam.
Aplikasi insektisida ini praktis, bilamana titik serangan berada di bawah ketinggian
2 meter.
- Untuk
meminimalkan tingkat serangan, terutama di daerah endemik oleng-oleng,
pengendalian perlu terintegrasi dengan praktek silvikultur dan pengendalian
mekanis.
- Aplikasi
praktek silvikultur pada daerah endemik dilakukan dengan mengatur jenis-jenis
tanaman tumpang sari. Jenis yang dipilih sebaiknya adalah jenis tanaman tumpang
sari yang cukup pendek sehingga ruang tumbuh di bawah tajuk jati tidak terlalu
lembab. Kondisi di bawah tajuk jati muda yang lembab dan rapat menyediakan
habitat yang cocok bagi hama hutan. Dari
berbagai pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa jumlah serangan hama
oleng-oleng pada tumpang sari jagung lebih tinggi dibandingkan palawija yang
lain.
- Pengendalian
mekanis dilakukan guna menurunkan populasi serangga dewasa (ngengat).
Pelaksanaannya dengan penggunaan perangkap lampu (light trap) di malam hari. Untuk penggunaan light trap, peralatan yang diperlukan berupa : kain putih 2 x 1,5
m, lampu bohlam/neon, dan nampan penampung air. Ngengat yang diperoleh kemudian
dimusnahkan.
No comments:
Post a Comment